ADVOKAT INDONESIA

PENGANTAR ADVOKAT INDONESIA

Senin, 17 Februari 2014

PEMBERANTASAN KORUPSI

Penanganan kasus korupsi termasuk pencucian uang oleh Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK, selama periode 2004 s/d 2012 telah diselesaikan sebanyak 11.973 perkara di tingkat penuntutan, dengan kerugian negara yang berhasil diselamatkan Rp.13.300.805.850.426,-, US$ 18,574,642.69, Baht 3.835.192 di luar aset-aset berupa tanah, bangunan dan barang bergerak lainnya. Belum lagi yang berhasil diselesaikan pada tahun 2013 karena KPK akhir-akhir ini semakin menunjukkan gregetnya di dalam penanganan tindak pidana korupsi tersebut. Banyak tokoh nasional yang menjadi penyelenggara negara dan juga penegak hukum serta pejabat yang duduk di pusat kekuasaan diseret ke Pengadilan. KPK terus merangkak memberantas korupsi, jelas gebrakannya cukup mengguncangkan penegakan hukum di negara ini. Hal itu terjadi karena tidak sedikit penyelenggara negara yang berkiprah di eksekutif, legislatif dan yudikatif yang selama ini sulit disentuh hukum, berhasil dikandangkan oleh KPK ke Lembaga Pemasyarakatan termasuk pengusaha kondang di negeri ini, sehingga nilai jual jurnalistiknya tinggi. Jadi jangan heran kalau tahap-tahap proses penyidikan dan persidangannya selalu diberitakan media cetak dan elektronik. Lebih-lebih dengan diterapkannya juga Undang- Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk melengkapi Predicate Crime, sehingga upaya pemberantasan korupsi tidak lagi hanya sekedar upaya mengembalikan kerugian negara, tetapi juga memiskinkan para pelaku korupsi agar lebih berdaya dan berhasil guna di dalam memberikan deterrent dan prevention effect dengan menggunakan metode follow the money. 

Namun demikian perlu juga diperhatikan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menggariskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Dari bunyi pasal 28G perlindungan atas hak kebendaan merupakan hak konstitusi. Oleh karena itu dalam melakukan pola "memiskinkan koruptor" perlu mencermati hak konstitusi ini agar dalam pelaksanaannya tidak melanggar dan bertentangan dengan hak atas benda yang diatur dalam konstitusi. Serta melanggar hukum dengan mengesampingkan azas-azas hukum yang universal. 

Langkah-langkah yang demikian itu ternyata dapat diapresiasi oleh masyarakat dan ekspektasi masyarakat makin menggelayuti pundak KPK, seiring dengan dewasa ini korupsi yang semakin ramai. Langkah-langkah yang dilakukan oleh KPK serta institusi penegak hukum lain tersebut akan sepenuhnya didukung oleh segenap komponen bangsa, asal tetap berada di koridor hukum. Seyogianya pihak Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini telah cukup banyak menangani perkara tindak pidana korupsi secara kuantitatif dibandingkan KPK, tetapi pemberitaannya tidak sehiruk pikuk perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK yang sebagian besar diperoleh melalui operasi tertangkap tangan yang begitu fantastis. 

Walaupun demikian, tetapi perlu diingat jangan karena ingin segarang KPK di dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, membuat fokus perhatian terhadap tindak pidana lainnya terkait keamanan, lingkungan dan financial seperti terorisme, narkotika, trafficking, pembunuhan, pencurian dengan kekerasan, pembalakan liar / illegal loging, pencurian ikan/ illegal fishing, korupsi, pencucian uang, perbankan dan tindak pidana lainnya yang sangat meresahkan masyarakat diabaikan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Justru tindak pidana ini tidak kalah pentingnya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi itu sendiri, Menurut Tranparency International ada beberapa hal yang menjadi indikator adalah:
    1. Alat ukur korupsi yaitu meliputi Indeks Persepsi Korupsi, Indeks Pemberian Suap, Barometer Korupsi Global , Konvensi Anti Suap OECD serta Pengawasan Korupsi
    2. AIat ukur transparansi yaitu meliputi Indeks Kerahasiaan Finansial serta Indeks Keterbukaan Anggaran;
    3. Indikitator Ketatapemerintahan dan pembangunan yang meliputi Indeks Kompetitif Global, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kebebasan Pers, Independensi Peradilan, Negara Hukum, serta Kebebasan bersuara dan Akuntabilitas.
Dari ketiga indikator di atas pendekatan penegakan hukum yang represif hanya memberikan kontribusi beberapa bagian saja untuk dapat ditingkatkannya indeks persepsi anti korupsi. Secara sederhana ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu pemberantasan korupsi, transparansi dan tata pemerintahan yang baik. 

Sebagai suatu pendekatan, perlu diperhatikan di Indonesia adalah pendekatan melalui tindakan represif dalam penegakan hukum, sehingga dipandang hukum (pidana) adalah sebagai suatu pembalasan (retributive justice), padahal untuk tercapainya pemberantasan korupsi, transparansi dan tata pemerintahan yang baik perlu dipertimbangkan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Dalam keadilan restoratif hukum bukanlah semata-mata menjadi alat balas dendam tapi untuk memulihkan keadilan itu sendiri.

Tampaknya penegakan hukum melalui tindakan represif dalam pemberantasan korupsi belum bisa meningkatkan indeks persepsi korupsi dan indeks kompetetif global Indonesia. Oleh karena itu pasca pemilu 2014 yang perlu agar diupayakan adalah:
    1. Menata kembali sistem hukum di berbagai produk legislasi yang belakangan ini menimbulkan berbagai polemik karena dipandang tidak mengedepankan kepastian hukum dan keadilan.
    2. Membangun Institusi penegak hukum yang independen dan tidak diskriminatif.
    3. Memberdayakan fungsi pengawasan legislatif dengan menempatkan anggota komisi 3 yang bersih dan tidak terkontaminasi dengan suap/korupsi, sehingga dapat menyandera mereka untuk mengemukakan pandangan atau pendapatnya.
    4. Mengsinkronisasikan berbagai penafsiran dengan mengeluarkan secondary rule of obligation (peraturan di bawah undang-undang) terhadap berbagai primary rule of obligation (undang-undang) yang belum mengandung kepastian hukum serta keadilan.
    5. Mendorong lembaga yudikatif sebagai muara terakhir pencari keadilan (the last corner stone) berani menjatuhkan putusan yang murni hukum tanpa rasa takut dengan berbagai tekanan.

Sumber Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)
Prof. Dr. Marwan Effendy, SH., MH.