Bahwa pengertian makro dari penegakan
hukum meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro terbatas dalam proses
litigasi atau pemeriksaan di pengadilan dan khusus dalam perkara pidana
adalah proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pelaksanaan
putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dari pembentukan undang-undang tidak ada
yang steril, setiap pembentukan undang-undang ada muatan
kepentingan-kepentingan dari kelompok politik-politik. Jika kembali
kepada judul Seminar, dimana dikatakan bahwa penegakan hukum yang steril
dari kepentingan politik, pertanyaan yang mendasar adalah kepentingan
dari politik yang mana?. Sebagai penegak hukum seperti polisi, jaksa
atau hakim yang mereka kerjakan sehari-hari adalah produk politik karena
hukum merupakan kebijakan politik kolektif yang dibuat oleh lembaga
politik baik legislatif maupun eksekutif.
Mungkin yang dimaksud dengan kepentingan
politik dari hukum itu sendiri atau hukum harus steril dari kepentingan
penguasa. Pada dewasa ini, bukan hanya penguasa saja yang punya
kepentingan, tapi pelaku usaha juga memiliki kepentingan, misalnya untuk
menentukan petinggi penegak hukum saja memakan waktu yang lama, ada
tarik menarik kepentingan. Hukum juga digunakan untuk mematikan lawan
politik melainkan juga lawan bisnis.
Istilah steril merupakan istilah dalam
bidang kesehatan diaman menurut kamus bahasa Indonesia adalah kondisi
yang bersih dari kotoran/kuman, sedangkan dalam bidang hukum kondisi
steril memiliki kata sendiri yaitu 'independen' sebagaimana dapat kita
temukan istilah tersebut di undang-undang.
Tugas dan wewenang lembaga-lembaga hukum
telah disterilkan oleh Undang-Undang, seperti Pasal 3 Undang-Undang No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:
(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan;
(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan;
(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan pasal 3 ayat (1)
undang-undang tersebut menjelaskan yang dimaksud dengan "kemandirian
peradilan" adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari
segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis."
Selain itu, Pasal 2 Undang-undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Selanjutnya dalam Pasal 2 UU No. 14
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang
No. 5 Tahun 2004 dan terakhir telah diubah dan ditambah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga menjamin independensi Mahkamah
Agung bahwa Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tinggi Negara dari semua
Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari
pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Mengenai independensi Kejaksaan telah
dijamin oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Kejaksaan Republik
Indonesia atau Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang. Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang
tersebut menyatakan bahwa "Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan secara merdeka. Selanjutnya Pasal 37 ayat (1)
Undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa Jaksa Agung bertanggung
jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan
berdasarkan hukum dan hati nurani. Penjelasan pasal 37 Perubahan
Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan bahwa
independensi tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan
peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara
merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya.
Sedangkan mengenai independensi
Kepolisian diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa
Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan
politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Sebagaimana penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan yang dimaksud
dengan "bersikap netral" adalah bahwa anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia bebas dari pengaruh semua partai politik, golongan dan
dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Independensi KPK dalam menjalankan
fungsi, tugas dan wewenangnya juga telah diatur dalam Pasal 3
Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah
lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam Penjelasan
Pasal 3 ketentuan tersebut yang dimaksud dengan "kekuasaan manapun"
adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi atau anggota komisi secara individual dari pihak
eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan
perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan
alasan apapun.
Masalahnya adalah ada pada lembaga
kepolisian dan kejaksaan yang mana pimpinannya diajukan dan diangkat
oleh Presiden, walaupun pemilihan Kapolri harus meminta persetujuan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, namun itu hanya formalitas,
karena jika yang disodorkan oleh menteri hanya 1 (satu) calon saja maka
DPR RI harus memilih calon satu-satunya tersebut. Disatu sisi harus
melaksanakan kewenangannya secara independen namun disisi lain pimpinan
Kepolisian dan kejaksaan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Banyak orang berpendapat jika seorang yang berintegritas harusnya
mengeyampingkan hal tersebut dengan bekerja apa adanya secara
profesional, namun di Indonesia masyarakatnya masih memiliki rasa "tidak
enak".
Namun, mengenai siapa yang mengangkat
dan memberhentikan tidak menjadi masalah sepanjang dalam hal Presiden
mengintervensi hukum harus sesuai dengan konstitusional. Seperti
pengalaman pribadi Narasumber ketika ada instruksi dari Soeharto untuk
menangkap Amin Rais, yang pada saat itu ditolak karena tidak ada bukti
yang kuat. Oleh karena itu, tidak mudah menjadi penegak hukum apalagi
sebagai bawahan. Iklim politik yang saat ini berkembang di suatu negara
sadar atau tidak nampaknya mempengaruhi eksistensi penegakan hukum di
negara tersebut tanpa kecuali tentunya Indonesia. Banyak pihak yang
berupaya untuk menjadikan hukum sebagai alat penunjang kepentingannya di
segala bidang terutama bidang politik atau bisnis. Fenomena ini dapat
terlihat kasat mata dan dapat ditemui di setiap pergantian rezim.
Tindakan tersebut dapat dipandang sah-sah saja sepanjang bermuara kepada
murni penegakan hukum, bukan untuk menjatuhkan lawan politik atau
bisnisnya, sebaliknya jika tindakan penegak hukum tersebut di luar
konteks dimaksud, maka jelas akan mengundang reaksi masyarakat untuk
bersifat apatis dan skeptis terhadap penegakan hukum di Indonesia,
karena memandang hukum sudah tidak dapat lagi mengakomodir kepentingan
hukum itu sendiri, melainkan hanya sebagai alat kekuasaan para elit
politik maupun kalangan tertentu.
Dengan demikian lembaga penegak hukum
seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian
maupun KPK, harus mampu mempertahankan martabat hukum dengan mengambil
sikap tegas, objektif serta berani menepis semua tekanan yang berupaya
mengintervensi fungsi, tugas dan wewenangnya demi kepentingannya
masing-masing. Apalagi independensi para lembaga penegak hukum tersebut
telah dijamin oleh undang-undang.
Untuk itu, apa yang dilakukan penegak
hukum ada kepentingan politik yaitu politik hukum legislatif dan politik
hukum eksekutif. Jika penegak hukum menyalahgunakan kewenangannya untuk
kepentingan politik atau kepentingan bisnis ada sanksi namun tidak
pernah diterapkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP sampai Pasal
424 KUHP dimana seorang penegak hukum yang terbukti merekayasa sebuah
kasus diancam dengan pidana penjara 6 (enam) tahun.
Banyak penegak hukum yang lupa dan
menganggap remeh asas presumption of innocence, dimana saat ini
seseorang yang belum ditetapkan sebagai tersangka saja sudah diumumkan,
hal tersebut jelas-jelas melanggar asas tersebut, apalagi orang tersebut
belum tentu mejadi tersangka. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008
tentang Informasi Publik, terdapat aturan yang membatasi bahwa tidak
semua perkara pidana itu diumumkan ke masyarakat apalagi orang tersebut
belum tersangka apalagi belum menjadi terpidana, dan jika aturan
tersebut dilanggar maka ancamannya adalah pidana penjara selama 1 (satu)
tahun.