ADVOKAT INDONESIA

PENGANTAR ADVOKAT INDONESIA

Rabu, 06 Januari 2016

NILAI MORAL DAN HUKUM DALAM PRAKTEK POLITIK

Terdapat 5 (lima) pembahasan yang disampaikan oleh Pembicara dalam Seminar ini yaitu yang Pertama kaitannya dengan watak hukum Pancasila, Kedua kaitannya dengan demokrasi yang berkeadaban, Ketiga kaitannya dengan keterkaitan antara kepentingan hukum dengan kepentingan politik, Keempat kaitanya dengan praktik hukum dan politik yang berlangsung pada saat ini, dan yang Kelima kaitannya dengan solusi atas permasalahan tersebut di atas.
Pembahasan Pertama, Pembicara menyampaikan kaitannya dengan apa yang menjadi kriteria dan ukuran dari watak hukum Pancasila itu sendiri. Sebagaimana yang telah Pembicara rumuskan bersama-sama dengan kurang lebih 60 (enam puluh) Ahli pada saat penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2014 – 2019 oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia terdapat 7 (tujuh) kriteria dan ukuran yang menjadi watak hukum Pancasila yaitu yang Pertama hukum yang disejahterakan, Kedua hukum harus dapat mewujudkan negara hukum yang berkeadilan, Ketiga hukum harus dapat melindungi hak asasi manusia, Keempat hukum yang dapat mendorong demokrasi yang berkeadaban, Kelima hukum harus dapat mencerdaskan kehidupan berbangsa, Keenam hukum yang dapat melindungi Negera Kesatuan Republik Indonesia, Ketujuh hukum yang dapat mendorong terciptanya perdamaian di dunia.
Selanjutnya pembahasan Kedua, Pembicara membahas kaitanya dengan kriteria dan ukuran dari hukum yang dapat mendorong demokrasi yang berkeadaban, menurut Pembicara apabila kita semua mengacu pada Pancasila maka makna dari kalimat "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan" adalah demokrasi kerakyatan, akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah demokrasi kerakyatan yang seperti apa? Demokrasi kerakyatan adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, maksud hikmat disini adalah hikmat yang dimaksud dalam sila pertama Pancasila, kemudian maksud kebijaksanaan adalah kebijaksanaan yang dijalankan oleh negarawan, maksud permusyawaratan / perwakilan adalah dilalui oleh proses musyawarah yang dilakukan lembaga perwakilan itulah nilai-nilai yang akan dibangun oleh demokrasi Negara kita, akan tetapi hal tersebut tidaklah mudah untuk dilaksanakan apabila dikaitkan dengan prilaku politik yang terjadi pada saat ini, tetap saja hal tersebut bukan merupakan suatu halangan dan kita tetap harus mendorong agar demokrasi negara kita tetap mengacu pada apa yang dikehendakai oleh sila ke-4 Pancasila.
Pembahasan Ketiga, Pembicara menyampaikan pembahasan kaitannya dengan keterkaitan antara kepentingan hukum dengan kepentingan politik. Sebagaimana diketahui menurut Pembicara terdapat 3 (tiga) teori kepentingan politik yang dikenal oleh masyarakat Indonesia, Pertama adalah kepentingan politik dalam rangka memperoleh dan menggunakan kekuasaan, Kedua adalah cara mengambil keputusan politik, Ketiga adalah cara mencapai tujuan politik. Apabila dikaitkan dengan judul Seminar kali ini yaitu "Bersihkan Hukum dari Kepentingan Politik Penyalahgunaan Kewenangan", maka kita perlu membedakan terlebih dahulu kepentingan politik yang seperti apa yang harus dibersihkan? Dari hasil diskusi antara Pembicara dengan Bapak Humphrey R. Djemat, S.H., LL.M., mengenai hal tersebut di atas, maka kepentingan politik yang harus dibersihkan adalah kepentingan politik kekuasaan yang disalahgunakan kewenangannya, kemudian kepentingan politik yang pada dasarnya melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, selanjutnya kepentingan politik yang mengesampingkan logika rakyat dan kepentingan politik yang semata-mata pragmatis digunakan hanya untuk mendapatkan kekuasaan. Selanjutnya yang dimaksud dengan kepentingan hukum adalah melekatkan nilai-nilai hukum pada suatu akibat hukum yang terjadi karena adanya peristiwa hukum, apabila kita mencoba untuk memadukan atau mengkombinasikan serta mengawinkan antara kepentingan hukum dengan kepentingan politik itu sangatlah baik sebenarnya, ketika kepentingan politik itu adalah kepentingan politik yang rasional, maksud dari kepentingan politik yang rasional adalah bernilai, bernorma, wajar, layak dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Apabila kita berbicara tentang hukum dan politik maka keduanya tidak dapat dipisahkan, satu sama lain tidak dapat steril baik dari kepentingan hukum maupun kepentingan politik ketika kepentingan politik yang digunakan adalah kepentingan politik rasional. Sehingga apabila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang menggunakan kepentingan politik yang menyalahgunakan kekuasaan maka akan terdapat permasalahan yang timbul. Negara Kesatuan Republik Indonesia membutuhkan hukum yang bernilai, bernorma, wajar, layak dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau yang dikenal dengan istilah hukum yang berkeadaban.
Selanjutnya Pembicara melakukan pembahasan kaitannya dengan potret hukum dan politik yang terjadi pada saat ini, menurut Pembicara terdapat 2 (dua) hal yang perlu digarisbawahi antara lain Pertama adalah adanya jurang diantara logika/perilaku masayarakat dengan logika/perilaku politik, sehingga Pembicara beranggapan bahwa bisa saja hukum yang dibangun oleh para politikus adalah hukum untuk kepentingan para pembuat undang-undang itu sendiri. Pada saat ini permasalahan yang terjadi adalah banyak Lembaga Swadaya Masyarakat yang membuat pernyataan bahwa para Partai Politik dan para Politikus sedang autis/narsis dan keasyikan sendiri dalam membangun hukum di Indonesia tanpa melihat kepentingan masayarakatnya. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi Pembicara, bahwa produk hukum yang dihasilkan oleh para Politikus yang seperti itu sejalan dengan kebutuhan dari para masyarakatnya, dimana dalam pembuatan pasal dikaitkan dengan harga pasaran pasal tersebut, apabila terjadi seperti ini maka akan membahayakan pelaksanaan hukum dan politik di Indonesia. Selanjutnya yang Kedua, seolah-olah pada saat ini hukum menjadi dasar pembenar (justifikasi) dari perbuatan politik untuk kepentingan jangka pendek, perbuatan politik yang pragmatis, perbuatan politik yang tujuannya mendapatkan kekuasaan. Apabila Pembicara membaca makalah dari Humphrey R. Djemat, S.H., LL.M., makalah tersebut mengangkat hal kaitannya dengan seolah-olah hukum menjadi dasar pembenar (justifikasi) dari perbuatan politik, dari makalah tersebut Humphrey R. Djemat, S.H., LL.M., juga mulai membahas dan mengungkapkan persoalan-persoalan yang timbul di balik hal tersebut yaitu tidak cukup suatu perbuatan politik/pemerintahan dianggap sah berdasarkan hukum akan tetapi diperlukan adanya legitimasi, etika, moral, asas-asas pemerintahan yang baik. Hal tersebut tidak bisa dilupakan dalam keabsahan perbuatan pemerintahan, karena berkaitan dengan konsep peradilan PTUN yang mengharuskan Beschikking (Putusan Tata Usaha Negara) tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang melainkan juga mengharuskan tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam kesempatan tersebut, Pembicara menyatakan bahwa membebaskan hukum dari penyalahgunaan kewenangan adalah salah satu cara untuk menghilangkan potret buruk hukum dan politik yang terjadi di Indonesia. Cara yang lain, menurut Pembicara adalah dengan membangun budaya Politik Partisipan dimana setiap masyarakat terlibat dalam politik dan pembentukan hukum ditambah dengan membangun budaya hukum yang rasional.

Kamis, 06 Agustus 2015

HUKUM STERIL DARI KEPENTINGAN POLITIK

Bahwa pengertian makro dari penegakan hukum meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro terbatas dalam proses litigasi atau pemeriksaan di pengadilan dan khusus dalam perkara pidana adalah proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pelaksanaan putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dari pembentukan undang-undang tidak ada yang steril, setiap pembentukan undang-undang ada muatan kepentingan-kepentingan dari kelompok politik-politik. Jika kembali kepada judul Seminar, dimana dikatakan bahwa penegakan hukum yang steril dari kepentingan politik, pertanyaan yang mendasar adalah kepentingan dari politik yang mana?. Sebagai penegak hukum seperti polisi, jaksa atau hakim yang mereka kerjakan sehari-hari adalah produk politik karena hukum merupakan kebijakan politik kolektif yang dibuat oleh lembaga politik baik legislatif maupun eksekutif.
Mungkin yang dimaksud dengan kepentingan politik dari hukum itu sendiri atau hukum harus steril dari kepentingan penguasa. Pada dewasa ini, bukan hanya penguasa saja yang punya kepentingan, tapi pelaku usaha juga memiliki kepentingan, misalnya untuk menentukan petinggi penegak hukum saja memakan waktu yang lama, ada tarik menarik kepentingan. Hukum juga digunakan untuk mematikan lawan politik melainkan juga lawan bisnis.
Istilah steril merupakan istilah dalam bidang kesehatan diaman menurut kamus bahasa Indonesia adalah kondisi yang bersih dari kotoran/kuman, sedangkan dalam bidang hukum kondisi steril memiliki kata sendiri yaitu 'independen' sebagaimana dapat kita temukan istilah tersebut di undang-undang.
Tugas dan wewenang lembaga-lembaga hukum telah disterilkan oleh Undang-Undang, seperti Pasal 3 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:
(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan;
(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan pasal 3 ayat (1) undang-undang tersebut menjelaskan yang dimaksud dengan "kemandirian peradilan" adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis."
Selain itu, Pasal 2 Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Selanjutnya dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan terakhir telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga menjamin independensi Mahkamah Agung bahwa Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tinggi Negara dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Mengenai independensi Kejaksaan telah dijamin oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia atau Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang tersebut menyatakan bahwa "Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka. Selanjutnya Pasal 37 ayat (1) Undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Penjelasan pasal 37 Perubahan Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan bahwa independensi tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Sedangkan mengenai independensi Kepolisian diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Sebagaimana penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menegaskan yang dimaksud dengan "bersikap netral" adalah bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia bebas dari pengaruh semua partai politik, golongan dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Independensi KPK dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya juga telah diatur dalam Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam Penjelasan Pasal 3 ketentuan tersebut yang dimaksud dengan "kekuasaan manapun" adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Masalahnya adalah ada pada lembaga kepolisian dan kejaksaan yang mana pimpinannya diajukan dan diangkat oleh Presiden, walaupun pemilihan Kapolri harus meminta persetujuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, namun itu hanya formalitas, karena jika yang disodorkan oleh menteri hanya 1 (satu) calon saja maka DPR RI harus memilih calon satu-satunya tersebut. Disatu sisi harus melaksanakan kewenangannya secara independen namun disisi lain pimpinan Kepolisian dan kejaksaan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Banyak orang berpendapat jika seorang yang berintegritas harusnya mengeyampingkan hal tersebut dengan bekerja apa adanya secara profesional, namun di Indonesia masyarakatnya masih memiliki rasa "tidak enak".
Namun, mengenai siapa yang mengangkat dan memberhentikan tidak menjadi masalah sepanjang dalam hal Presiden mengintervensi hukum harus sesuai dengan konstitusional. Seperti pengalaman pribadi Narasumber ketika ada instruksi dari Soeharto untuk menangkap Amin Rais, yang pada saat itu ditolak karena tidak ada bukti yang kuat. Oleh karena itu, tidak mudah menjadi penegak hukum apalagi sebagai bawahan. Iklim politik yang saat ini berkembang di suatu negara sadar atau tidak nampaknya mempengaruhi eksistensi penegakan hukum di negara tersebut tanpa kecuali tentunya Indonesia. Banyak pihak yang berupaya untuk menjadikan hukum sebagai alat penunjang kepentingannya di segala bidang terutama bidang politik atau bisnis. Fenomena ini dapat terlihat kasat mata dan dapat ditemui di setiap pergantian rezim. Tindakan tersebut dapat dipandang sah-sah saja sepanjang bermuara kepada murni penegakan hukum, bukan untuk menjatuhkan lawan politik atau bisnisnya, sebaliknya jika tindakan penegak hukum tersebut di luar konteks dimaksud, maka jelas akan mengundang reaksi masyarakat untuk bersifat apatis dan skeptis terhadap penegakan hukum di Indonesia, karena memandang hukum sudah tidak dapat lagi mengakomodir kepentingan hukum itu sendiri, melainkan hanya sebagai alat kekuasaan para elit politik maupun kalangan tertentu.
Dengan demikian lembaga penegak hukum seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian maupun KPK, harus mampu mempertahankan martabat hukum dengan mengambil sikap tegas, objektif serta berani menepis semua tekanan yang berupaya mengintervensi fungsi, tugas dan wewenangnya demi kepentingannya masing-masing. Apalagi independensi para lembaga penegak hukum tersebut telah dijamin oleh undang-undang.
Untuk itu, apa yang dilakukan penegak hukum ada kepentingan politik yaitu politik hukum legislatif dan politik hukum eksekutif. Jika penegak hukum menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan politik atau kepentingan bisnis ada sanksi namun tidak pernah diterapkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP sampai Pasal 424 KUHP dimana seorang penegak hukum yang terbukti merekayasa sebuah kasus diancam dengan pidana penjara 6 (enam) tahun.
Banyak penegak hukum yang lupa dan menganggap remeh asas presumption of innocence, dimana saat ini seseorang yang belum ditetapkan sebagai tersangka saja sudah diumumkan, hal tersebut jelas-jelas melanggar asas tersebut, apalagi orang tersebut belum tentu mejadi tersangka. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik, terdapat aturan yang membatasi bahwa tidak semua perkara pidana itu diumumkan ke masyarakat apalagi orang tersebut belum tersangka apalagi belum menjadi terpidana, dan jika aturan tersebut dilanggar maka ancamannya adalah pidana penjara selama 1 (satu) tahun.

Minggu, 14 Juni 2015

KEWENANGAN PTUN DALAM UU PARPOL


Bahwa dalam kesempatan tersebut, Pembicara menyatakan akan melakukan pendekatan secara pragmatis dan casuistis dalam menyampaikan pembahasan kaitannya dengan "Sejauh Mana Kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara Dalam Undang-Undang Partai Politik". Terdapat istilah yang menyatakan "Hukum tanpa kekuasaan hanya angan-angan belaka, sedangkan kekuasaan tanpa hukum merupakan kezholiman", kedua hal tersebut haruslah dapat saling mengisi, dan tema seminar ini yaitu "Bersihkan Hukum Dari Kepentingan Politik Penyalahgunaan Kewenangan" tujuannya adalah untuk dapat melihat ke arah dimana hukum dapat dipergunakan untuk kepentingan politik yang baik. Pembicara selanjutnya menerima saran dari Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H., M.H., yang menyatakan bahwa janganlah kita hanya melihat kepada segi kepentingan politiknya saja, melainkan kita juga harus mengarah kepada kepentingan politik yang sama-sama kita inginkan tanpa adanya penyalahgunaan kewenangan.
Selanjutnya kaitannya dengan kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Pejabat Tata Usaha Negara menjadi penting? Karena Pejabat Tata Usaha Negara inilah yang dapat menentukan arah penegakan hukum menjadi lebih baik, dimana Pejabat Tata Usaha Negara adalah pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan. Bahwa secera sederhana kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara haruslah patuh pada peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Pembicara mengajak para peserta seminar untuk bersama-sama melakukan pengkajian apakah kewenangan Pejabat Tata Usaha Negara telah dilaksanakan dalam kasus Partai Persatuan Pembangunan ("PPP"), menurut Pembicara dari segi peraturan perundang-undangan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pengesahan Kepengurusan PPP versi Romahurmuziy oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ("Surat Keputusan Menkumham") hal tersebut dapat dilakukan perlawanan, dimana pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya mendasarkan Surat Keputusan Menkumham kepada ketentuan Pasal dalam Undang-Undang Partai Politik yang mengatur bahwa pengesahan harus dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari dan tidak ada alasan-alasan lain yang dikemukakan. Apabila kita mengkaji lebih dalam lagi, berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Partai Politik secara tegas menyatakan bahwa "Menteri tidak dapat melakukan pengesahan terhadap perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, termasuk kepengurusan partai politik, apabila terjadi perselisihan partai politik", kemudian ketentuan dalam Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Partai Politik yang menyatakan bahwa perselisihan partai harus diselesaikan oleh internal partai melalui Mahkamah Partai Politik dan apabila tidak dapat diselesaikan maka harus diselesaikan oleh Pengadilan. Sebenarnya hal tersebut telah dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum ("Dirjen AHU"), dimana Dirjen AHU telah melayangkan surat tanggal 25 September 2014 ("Surat Dirjen AHU")yang pada pokoknya menyatakan "karena adanya permohonan dari kedua belah pihak baik dari PPP kubu Suryadharma Ali maupun PPP kubu Romahurmuziy maka sikap yang diambil Dirjen AHU mewakili Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah tidak menerima kedua pengesahan tersebut karena adanya perselisihan dan meminta penyelesaian perselisihan melalui mahkamah partai atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Terkait dengan hal tersebut, maka Surat Keputusan Menkumham telah bertentangan dengan Undang-Undang Partai dan terlihat adanya inkonsistensi dengan Surat Dirjen AHU.
Selanjutnya apabila Surat Keputusan Menkumham dikaji dengan beberapa asas-asas umum pemerintahan yang baik, dimana dalam Undang-Undang Tata Usaha Negara dikenal yang Pertama adalah "asas kepastian hukum", dimana asas tersebut berlandaskan pada peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara, kaitan antara Surat Keputusan Menkumhan dengan kepatutan dapat dipersoalkan karena apakah patut dalam masa kerja 1 (satu) hari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengambil keputusan yang merugikan pihak lain, hal tersebut juga berkaitan dengan rasa keadilan yang diamanatkan dalam asas kepastian hukum. Kedua, "asas tertib penyelenggaraan negara", landasan asas ini adalah keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara, kaitan antara Surat Keputusan Menkumham dengan asas ini adalah dapat dipertanyakan apakah terdapat keseimbangan apabila hanya permohonan dari pihak PPP versi Romahurmuziy yang diterima pengesahannya oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, padahal konflik internal PPP sudah menjadi pengetahuan masyarakat luas termasuk juga Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menyatakan dirinya sebelum menjadi Menteri telah mengetahui dan mengikuti permasalahan internal PPP, kemudian kaitannya dengan keteraturan yang juga menjadi landasan pada asas ini, sudah seharusnya apa yang disampaikan dalam Surat Dirjen AHU menjadi bagian dari sikap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ketiga, "asas keterbukaan", dimana asas ini berlandaskan padahal masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara, kaitannya dengan Surat Keputusan Menkumham dapat dilakukan perlawanan dengan landasan adanya sikap yang diskriminatif terhadap penerbitan Surat Keputusan Menkumham yang memihak kepada salah satu pihak. Keempat, "asas proporsionalitas" adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara, kaitannya dengan Surat Keputusan Menkumham, memang sudah benar bahwa hak dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengeluarkan suatu keputusan, akan tetapi kewajibannya yaitu untuk mengayomi para pihak dan juga membuat masalah menjadi baik harus juga muncul dengan diterbitkannya keputusan tersebut. Kelima, "asas profesionalitas" adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kaitannya dengan Surat Keputusan Menkumham, selaku Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah orang yang paling mengetahui mengenai hukum dan peraturan-peraturan, akan tetapi apabila Menteri tersebut tidak mempunyai landasan yang kuat dari peraturan yang ada dan Menteri juga tidak memperlihatkan sikap profesionalitasnya maka dapat diragukan. Keenam, "asas akuntabilitas" adalah setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat, apabila kita melihat pada komentar-komentar yang berkembang di masyarakat, para pakar hukum dan pengamat hukum secara garis besar menolak dan tidak dapat menerima Surat Keputusan Menkumham dengan berbagai macam alasaanya. Atas dasar tersebut maka terhadap Surat Keputusan Menkumham diajukan perlawanan berupa Gugatan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, sehingga nantinya akan diketahui apakah Surat Keputusan Menkumham telah memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik atau sebaliknya. 

Sampai dengan saat ini, sudah terdapat respon yang baik dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dimana Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah membuat pernyataan yang menyatakan bahwa kaitannya dengan segala masalah Gugatan Tata Usaha Negara telah diserahkan kepengurusan kepada Dirjen AHU, walaupun hal tersebut menjadi pertanyaan kenapa tidak sejak awal sebelum Surat Keputusan Menkumham diterbitkan telah diserahkan kepengurusannya kepada Dirjen AHU, akan tetapi sampai dengan saat ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menyatakan bahwa yang menjadi keputusan akhir dari eksistensi Surat Keputusan Menkumham tersebut adalah menunggu Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, yang terjadi pada saat ini adalah masih sebatas penundaan terhadap pelaksanaan Surat Keputusan Menkumham tersebut dan apabila nantinya telah terdapat Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, Pembicara menghimbau bagi seluruh pihak untuk menghormati Putusan tersebut dan menyarankan pada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk tidak melakukan upaya hukum Banding sebagai wujud menghormati Pengadilan dan konsekuensi terhadap Surat Keputusan Menkumham yang dibuatnya.
Selanjutnya, Pasal 8 Undang-undang Partai Politik, pada pokoknya menyatakan Menteri tidak dapat melakukan pengesahan terhadap perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, termasuk kepengurusan partai politik, apabila terjadi perselisihan partai politik, dengan demikian terdapat dasar yang kuat bagi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk tidak melakukan pengesahan terhadap permohonan yang diajukan oleh PPP versi Romahurmuziy. Hal tersebut akan menjadi menarik apabila nantinya akan dilakukan hearing (jajak pendapat) diantara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Komisi III DPR sehingga dapat terlihat jelas masalah yang sedang terjadi. Pembicara telah meminta kepada Komisi III DPR untuk tidak hanya mengundang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi melainkan juga mengundang Dirjen AHU dengan tujuan untuk mendapatkan kebenaran selaras dengan asas keterbukaan, dimana masyarakat harus mendapatkan suatu informasi yang jelas sehingga masyarakat dapat melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai suatu pembelajaran bagi seluruh Pejabat Tata Usaha Negara untuk lebih berhati-hati dalam menyikapi suatu permasalahan.