Terdapat 5 (lima) pembahasan yang
disampaikan oleh Pembicara dalam Seminar ini yaitu yang Pertama
kaitannya dengan watak hukum Pancasila, Kedua kaitannya dengan demokrasi
yang berkeadaban, Ketiga kaitannya dengan keterkaitan antara
kepentingan hukum dengan kepentingan politik, Keempat kaitanya dengan
praktik hukum dan politik yang berlangsung pada saat ini, dan yang
Kelima kaitannya dengan solusi atas permasalahan tersebut di atas.
Pembahasan Pertama, Pembicara
menyampaikan kaitannya dengan apa yang menjadi kriteria dan ukuran dari
watak hukum Pancasila itu sendiri. Sebagaimana yang telah Pembicara
rumuskan bersama-sama dengan kurang lebih 60 (enam puluh) Ahli pada saat
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2014 – 2019
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia terdapat 7 (tujuh) kriteria dan ukuran
yang menjadi watak hukum Pancasila yaitu yang Pertama hukum yang
disejahterakan, Kedua hukum harus dapat mewujudkan negara hukum yang
berkeadilan, Ketiga hukum harus dapat melindungi hak asasi manusia,
Keempat hukum yang dapat mendorong demokrasi yang berkeadaban, Kelima
hukum harus dapat mencerdaskan kehidupan berbangsa, Keenam hukum yang
dapat melindungi Negera Kesatuan Republik Indonesia, Ketujuh hukum yang
dapat mendorong terciptanya perdamaian di dunia.
Selanjutnya pembahasan Kedua, Pembicara
membahas kaitanya dengan kriteria dan ukuran dari hukum yang dapat
mendorong demokrasi yang berkeadaban, menurut Pembicara apabila kita
semua mengacu pada Pancasila maka makna dari kalimat "Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan"
adalah demokrasi kerakyatan, akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah
demokrasi kerakyatan yang seperti apa? Demokrasi kerakyatan adalah
demokrasi yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, maksud hikmat disini adalah hikmat yang
dimaksud dalam sila pertama Pancasila, kemudian maksud kebijaksanaan
adalah kebijaksanaan yang dijalankan oleh negarawan, maksud
permusyawaratan / perwakilan adalah dilalui oleh proses musyawarah yang
dilakukan lembaga perwakilan itulah nilai-nilai yang akan dibangun oleh
demokrasi Negara kita, akan tetapi hal tersebut tidaklah mudah untuk
dilaksanakan apabila dikaitkan dengan prilaku politik yang terjadi pada
saat ini, tetap saja hal tersebut bukan merupakan suatu halangan dan
kita tetap harus mendorong agar demokrasi negara kita tetap mengacu pada
apa yang dikehendakai oleh sila ke-4 Pancasila.
Pembahasan Ketiga, Pembicara
menyampaikan pembahasan kaitannya dengan keterkaitan antara kepentingan
hukum dengan kepentingan politik. Sebagaimana diketahui menurut
Pembicara terdapat 3 (tiga) teori kepentingan politik yang dikenal oleh
masyarakat Indonesia, Pertama adalah kepentingan politik dalam rangka
memperoleh dan menggunakan kekuasaan, Kedua adalah cara mengambil
keputusan politik, Ketiga adalah cara mencapai tujuan politik. Apabila
dikaitkan dengan judul Seminar kali ini yaitu "Bersihkan Hukum dari
Kepentingan Politik Penyalahgunaan Kewenangan", maka kita perlu
membedakan terlebih dahulu kepentingan politik yang seperti apa yang
harus dibersihkan? Dari hasil diskusi antara Pembicara dengan Bapak
Humphrey R. Djemat, S.H., LL.M., mengenai hal tersebut di atas, maka
kepentingan politik yang harus dibersihkan adalah kepentingan politik
kekuasaan yang disalahgunakan kewenangannya, kemudian kepentingan
politik yang pada dasarnya melanggar asas-asas umum pemerintahan yang
baik, selanjutnya kepentingan politik yang mengesampingkan logika rakyat
dan kepentingan politik yang semata-mata pragmatis digunakan hanya
untuk mendapatkan kekuasaan. Selanjutnya yang dimaksud dengan
kepentingan hukum adalah melekatkan nilai-nilai hukum pada suatu akibat
hukum yang terjadi karena adanya peristiwa hukum, apabila kita mencoba
untuk memadukan atau mengkombinasikan serta mengawinkan antara
kepentingan hukum dengan kepentingan politik itu sangatlah baik
sebenarnya, ketika kepentingan politik itu adalah kepentingan politik
yang rasional, maksud dari kepentingan politik yang rasional adalah
bernilai, bernorma, wajar, layak dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Apabila kita berbicara tentang hukum dan politik maka keduanya tidak
dapat dipisahkan, satu sama lain tidak dapat steril baik dari
kepentingan hukum maupun kepentingan politik ketika kepentingan politik
yang digunakan adalah kepentingan politik rasional. Sehingga apabila
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang menggunakan kepentingan
politik yang menyalahgunakan kekuasaan maka akan terdapat permasalahan
yang timbul. Negara Kesatuan Republik Indonesia membutuhkan hukum yang
bernilai, bernorma, wajar, layak dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
atau yang dikenal dengan istilah hukum yang berkeadaban.
Selanjutnya Pembicara melakukan
pembahasan kaitannya dengan potret hukum dan politik yang terjadi pada
saat ini, menurut Pembicara terdapat 2 (dua) hal yang perlu
digarisbawahi antara lain Pertama adalah adanya jurang diantara
logika/perilaku masayarakat dengan logika/perilaku politik, sehingga
Pembicara beranggapan bahwa bisa saja hukum yang dibangun oleh para
politikus adalah hukum untuk kepentingan para pembuat undang-undang itu
sendiri. Pada saat ini permasalahan yang terjadi adalah banyak Lembaga
Swadaya Masyarakat yang membuat pernyataan bahwa para Partai Politik dan
para Politikus sedang autis/narsis dan keasyikan sendiri dalam
membangun hukum di Indonesia tanpa melihat kepentingan masayarakatnya.
Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi Pembicara, bahwa produk hukum
yang dihasilkan oleh para Politikus yang seperti itu sejalan dengan
kebutuhan dari para masyarakatnya, dimana dalam pembuatan pasal
dikaitkan dengan harga pasaran pasal tersebut, apabila terjadi seperti
ini maka akan membahayakan pelaksanaan hukum dan politik di Indonesia.
Selanjutnya yang Kedua, seolah-olah pada saat ini hukum menjadi dasar
pembenar (justifikasi) dari perbuatan politik untuk kepentingan jangka
pendek, perbuatan politik yang pragmatis, perbuatan politik yang
tujuannya mendapatkan kekuasaan. Apabila Pembicara membaca makalah dari
Humphrey R. Djemat, S.H., LL.M., makalah tersebut mengangkat hal
kaitannya dengan seolah-olah hukum menjadi dasar pembenar (justifikasi)
dari perbuatan politik, dari makalah tersebut Humphrey R. Djemat, S.H.,
LL.M., juga mulai membahas dan mengungkapkan persoalan-persoalan yang
timbul di balik hal tersebut yaitu tidak cukup suatu perbuatan
politik/pemerintahan dianggap sah berdasarkan hukum akan tetapi
diperlukan adanya legitimasi, etika, moral, asas-asas pemerintahan yang
baik. Hal tersebut tidak bisa dilupakan dalam keabsahan perbuatan
pemerintahan, karena berkaitan dengan konsep peradilan PTUN yang
mengharuskan Beschikking (Putusan Tata Usaha Negara) tidak hanya
bertentangan dengan Undang-Undang melainkan juga mengharuskan tidak
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam kesempatan tersebut, Pembicara
menyatakan bahwa membebaskan hukum dari penyalahgunaan kewenangan adalah
salah satu cara untuk menghilangkan potret buruk hukum dan politik yang
terjadi di Indonesia. Cara yang lain, menurut Pembicara adalah dengan
membangun budaya Politik Partisipan dimana setiap masyarakat terlibat
dalam politik dan pembentukan hukum ditambah dengan membangun budaya
hukum yang rasional.