Tujuan
peradilan pidana intinya untuk memutuskan seseorang bersalah atau
tidak, prosedural yang diatur oleh pembuktian dan pada akhirnya
bermuara di Pengadilan, wujud dari tugas Pengadilan membutuhkan suatu
analisa yang berhubungan tentang hukum sebab akibat antara suatu perkara
yang di putus dengan hasil apapun yang terdapat dalam suatu putusan.
Tuntutan yang terkadang bertentangan haruslah mengantisipasi dari
putusan yang di ikrarkan. Karna kembali pada awalan dan akhiran
Pengadilan merupakan tempat untuk penyelesaian konflik.
Tujuan Peradilan pidana sangat diharapkan bagi para pencari keadilan untuk diperhatikannya kewajiban untuk mempertanggungjawabkan tindakan atau keputusanya, hal ini baiknya dinilai oleh masyarakat ataupun institusi yang berada di luar Pengadilan.
Proses pemeriksaan perkara pidana yang tertuang dalam KUHAP tergolong ketat yang menyebabkan sikap dari para penegak hukum memicu yang didasari oleh hati nurani setidaknya sebagai wujud untuk menghormati hak - hak sebagai warganya. Akibat dari Proses yang demikian pemeriksaan di Pengadilan Tergolong lama, rumit, keberpihakan antara yang satu dengan lainya dan katakanlah Susah seperti yang terdapat dalam aturan normatif atau formal.
Pemeriksaan perkara pidana biasanya lebih ditujukan kepada masalah status, kebanyakan yang tersorot adalah status yang berbobot lebih banyak materi, dibandingkan dengan ststus yang tidak mempunyai materi atau rendah, mungkin ini yang dinamakan diskriminatif, contoh terhadap perkara yang tidak berbobot kekerasan muncul melalui berbagai simbol tertentu di ruang persidangan, sang penguasa hendak bertanya seolah membentak dengan arogansi kewenangan atau sifat otoriter, mungkin karna panasnya suasana ruangan Pengadilan ,,, atau para penguasa yang satunya dengan persenjataan yang lengkap mengawal yang membuat terenyuh para tersangka......./\/\_/\___/\_______.
Wacana seperti ini bukan berarti jual beli keadilan,,, hanya saja bagi para pencari keadilan menginginkan hak yang sama sebagai warga negara bukan semata - mata ungkapan sinis tetapi realitas yang di inginkan tidak adanya nuansa formalitas pada dasarnya.
Lain halnya bila dilihat model peradilan pidana yang disesuaikan oleh kondisi budaya stuktural di negara sebrang sana seperti hanya Helbert L Packer mengemukakan :
"....... Bahwa suatu pendekatan progmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuan baik dari adanya hukum pidana memerlukan penyelidikan secara umum tentang apakah proses pidana merupakan kendali sosial yang merupakan kecepatan tinggi atau rendah dan penyelidikan lanjutan dan bersifat khusus mengenai kemampuanya untuk mengatasi prilaku anti sosial, bertitik tolak dari kedua persyaratan tersebut memerlukan suatu pemahaman mengenai "Criminal Proces", satu-satunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut adalah dengan mengabtraksi kenyataan dan membangun sebuah model, model yang hendak dibangun adalah (1) yang memiliki kegunaan sebagai indeks dari suatu pilihan nilai masa kini tentang bagaimana suatu sistem di implementasikan; (2) dan sebuah model berbentuk dari usaha untuk membedakan secara tajam hukum dalam buku teks dan mengungkapkan seakurat mungkin apa yang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-hari; (3) sebuah model yang dapat di pergunakan untuk mengenali secara ekslisit pilihan nilai yang melandasi rincian suatu "Criminal Process" bentuk model yang cocok untuk mencapai ketiga hal tersebut adalah model atau model2 normatif.
Pemeriksaan perkara pidana di pengadilan yang di inginkan pencari keadilan titik utamanya adalah realitas sosial yang terdapat didalamya tindakan para penguasa suatu pemeriksaan perkara pidana berjalan sangat diharapkan pada sistem peradilan pidana yang LAYAK dan ADIL atau sistem peradilan yang harmonis, menghormati hak-hak dari para pencari keadilan dan tersangka.